Sejumlah pertanyaan seperti itu muncul di grup-grup media sosial (medsos) maupun komentar-komentar netizen (warganet).
Sejumlah orang bingung karena hari ini, di Arab Saudi sudah melaksanakan Salat Idul Adha (Salat Id).
Wukuf di Arofah berlangsung Senin (20/8/2018) dan Idul Adha pada Selasa (21/8/2018).
Di Indonesia, pemerintah atau lebih tepatnya sidang istbat di Kementerian Agama (Kemenag), memutuskan Idul Adha jatuh pada hari Rabu (22/8/2018) dan puasa Arofah pada Selasa (21/8/2018).
Tetapi, ada juga sebagian umat Muslim yang melaksanakan Salat Idul Adha hari Selasa dan bahkan ada yang hari Senin kemarin.
Guru Besar Hukum dari Monash University, Prof Nadisyah Hosen, kemudian menulis sebuah artikel yang dia unggah di akun facebooknya.
Nadirsyah Hosen, pengurus Nahdlatul Ulama di Australia, menulis empat penjelasan untuk menjawab pertanyaan tersebut, salah satunya mengutip pendapat ulama Arab Saudi.
"Ada kelompok lain (Dewan Dakwah Islamiyah, Partai Keadilan Sejahtera, Hizbut Tahrir dan yang lainnya) memandang bahwa Idul Adha itu bersifat global alias mengikuti ketentuan Pemerintah Saudi," tulis Nadirsyah Hosen di akun facebooknya.
Karena itu, kelompok ini melaksanakan ibadah Salat Idul Adha pun mengikuti Pemerintah Arab Saudi.
Jika di Arab Saudi wukuh hari Senin, maka Salat Idul Adha dilaksanakan satu hari setelahnya atau Selasa ini.
Tetapi, kata Nadirsyah Hosen, organisasi seperti Nahdlatul Ulama (NU) dan Muhammadiyah, sepakat bahwa Idul Adha bersifat lokal, tergantung posisi bulan di wilayah Indonesia, bukan di Arab Saudi.
"Walhasil, Idul Adha, seperti Idul Fitri, berbeda-beda waktunya di berbagai negara. Mereka berpendapat tidak ada hubungan antara wukuf tgl 9 di Arafah dengan Idul Adha tgl 10 di Saudi," ujar Nadirsyahb Hosen.
Mengenai puasa Arafah juga bersifat "lokal", simak fatwa ulama Arab Saudi Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin yang tercantum dalam Majmu Fatawa wa Rosail Fadhilah al Syeikh Muhammad bin Sholih al Utsaimin jilid 20 halaman 47-48.
Syekh Utsaimin, kata Nadirsyah Hosen, berpandangan idul adha mengikuti keputusan pemerintah setempat, bukan mengikuti keputusan pemerintah Saudi Arabia.
"Nah, kalau ulama Saudi sendiri berfatwa mendukung idul adha lokal dan puasa arafah lokal, maka mengapa kita masih ngotot mau mengikuti Saudi," ujar Nadirsyah Hosen.
Baca: Hari Ini, Jamaah Pusdiklat Muslimah Center Cipayung Sudah Melaksanakan Salat Idul Adha
Untuk lebih jelasnya, simak tulisan Prof Nadirsyah Hosen berikut ini.
Idul Adha ikut Pemerintah Saudi Arabia atau lokal?
Rupanya masih banyak yang "bingung" dengan keputusan pemerintah Indonesia dalam menentukan 10 Zulhijjah atau Idul Adha. Siapa tahu catatan di bawah ini bisa sedikit membantu menjelaskan.
1. Kenapa tidak ikut keputusan pemerintah Saudi Arabia?
Di Indonesia, meskipun NU dan Muhammadiyah berbeda dalam hisab-ru'yah namun mereka sepakat bahwa Idul idha itu bersifat lokal. Untuk menentukan tgl 10 zulhijjah, maka harus tahu tanggal 1-nya. Dan tanggal 1 Zulhijjah itu bersifat lokal alias bisa berbeda-beda tergantung posisi bulan di masing-masing negara (sesuai dengan hisab atau ru'yahnya). Kalau terjadi perbedaan dalam menentukan tgl 1 Zulhijjah maka tgl 10-nya juga berbeda.
Walhasil, Idul Adha, seperti Idul Fitri, berbeda-beda waktunya di berbagai negara. Mereka berpendapat tidak ada hubungan antara wukuf tgl 9 di Arafah dengan Idul Adha tgl 10 di Saudi. Wukuf memang berkaitan dengan hari arafah (dan tempatnya di Saudi Arabia) sedangkan Idul Adha dilaksanakan tanggal 10 di seluruh dunia (tidak terikat pada pelaksanaan Idul Adha di Saudi).
Berbeda dengan wukuf, Idul Adha itu ibadah yang tidak terikat dengan tempat tertentu. Idul Adha tidak termasuk dalam rangkaian ibadah haji. Dengan kata lain, idul adha itu TIDAK termasuk bagian dari rukun dan wajib haji.
Ada kelompok lain (Dewan Dakwah Islamiyah, Partai Keadilan Sejahtera, Hizbut Tahrir dan yang lainnya) memandang bahwa Idul Adha itu bersifat global alias mengikuti ketentuan Pemerintah Saudi. Menurut mereka, untuk tahu tgl 10, maka harus tahu tgl 9 Zulhijah. Nah, karena 9 Zulhijah itu hari Arafah, maka mereka mengikuti keputusan pemerintah Saudi akan kapan hari arafah itu. Patokannya sederhana, satu hari setelah wukuf di Arafah adalah Idul Adha.
Konsekuensinya, meskipun tgl 1 Zulhijah di Australia, di Jerman dan di belahan lain berbeda dengan tgl 1 Zulhijjah di Saudi (karena perbedaan posisi bulan di masing-masing negara itu), namun tanggal 10 Zulhijahnya "tiba-tiba" jadi sama. Untuk lebaran haji ini mereka tidak pakai hisab dan ru'yah, pokoknya ikut saja apa keputusan Saudi.
Akhirnya kalender mereka jadi membingungkan: utk 11 bulan lainnya mereka ikut peredaran bulan di lokasi masing-masing, tapi khusus bulan Zulhijjah mereka ikut kalender Saudi.
Boleh jadi di sebuah negara bulan zulqaidah baru tgl 28, tapi karena memaksa diri ikut Saudi, keesokan harinya lansgung lompat ke 1 Zulhijjah [padahal jumlah hari dlm 1 bulan harus minimum 29). Atau sebaliknya, boleh jadi ada negara yg menurut hisab atau ru'yah lokal sudah masuk tgl 1 Zulhijah, tapi terpaksa mundur menjadi tgl 28 atau 29 Zulqaidah; atau mereka sudah masuk tgl 9 Zulhijah tapi "terpaksa" mundur sehari jadi 8 Zulhijah. Ini semua dilakukan agar 10 Zulhijah
bisa sama dengan kalender Saudi. Tentu saja ini semua bertentangan dengan kaidah ilmu pengetahuan!
Kalau dibikin simulasi virtual jadi "seru"....peredaran atau posisi bulan di wilayah Indonesia, misalnya, tiba-tiba "lompat" karena harus sesuai dg kalendar Saudi.
Nah, jadi sekarang yang mana yang sesuai dengan logika kita? Yang kalender dan peredaran bulannya di-adjust mengikuti Saudi atau yang mengikuti peredaran bulan berdasarkan kalender lokal? (Warta Kota)

0 Komentar