NAYPYIDAW - Setidaknya 19 orang tewas di Myanmar utara ketika
pemberontak etnis menyerang pos-pos pasukan keamanan di negara bagian Shan. Ini
adalah serangan paling mematikan dalam beberapa tahun terakhir seiring
meningkatnya pertempuran di wilayah perbatasan.
Aktivis HAM mengatakan bentrokan di utara dekat perbatasan
China itu telah meningkat sejak Januari karena masyarakat internasional
berfokus pada krisis Rohingya di bagian barat negara itu. Militer Myanmar
diduga telah melakukan kampanye pembersihan etnis terhadap minoritas tanpa
kewarganegaraan di Rakhine.
Operasi militer pada Sabtu (12/5/2018) diluncurkan oleh
Tentara Pembebasan Nasional Ta'ang, atau TNLA, salah satu dari beberapa
kelompok pemberontak yang berjuang untuk otonomi yang lebih besar di utara.
Gambar dan video dari pertempuran yang dibagikan di media
sosial menunjukkan orang-orang bersenjata menyebar di jalan perumahan sementara
seorang tentara pemberontak berlindung di belakang mobil. Suara tembakan
otomatis memenuhi udara saat ambulans membawa mereka yang terluka.
"Sembilan belas (orang) tewas dalam pertempuran,"
kata sumber militer Myanmar, menambahkan bahwa puluhan orang terluka seperti
dikutip dari AFP, Minggu
(13/5/2018).
Juru bicara pemerintah Myanmar, Zaw Htay, mengatakan dalam sebuah
postingan di Facebook bahwa satu petugas polisi dan tiga anggota milisi yang
didukung negara telah tewas sementara 15 orang tewas adalah warga sipil yang
tidak bersalah. Ia menyebut itu adalah serangan teroris.
"Sebuah serangan yang menargetkan orang-orang yang tidak
bersalah tidak menunjukkan tuntutan hak sebuah etnis. Itu hanya sebuah serangan
teroris yang merusak," katanya.
Ia pun mengatakan militer akan mengejar kelompok bersenjata
itu.
Sementara Juru bicara TNLA, Mai Aik Kyaw, mengatakan bahwa mereka
menyerang pos militer dan milisi gabungan di kota Muse Negara Bagian Shan dan
di jalan menuju Lashio.
"Kami berjuang karena pertempuran sengit di wilayah kami
dan serangan serius di Negara Bagian Kachin," jelasnya, mengacu pada
konfrontasi baru di negara bagian paling utara Myanmar antara militer dan
Tentara Kemerdekaan Kachin (KIA), aliansi TNLA.
Tidak jelas apakah anggota TNLA yang kuat, atau KIA,
mengambil bagian dalam serangan pada hari Sabtu.
Lebih dari 100.000 orang yang terlantar sekarang tinggal di
kamp-kamp di negara bagian Kachin dan Shan sejak gencatan senjata antara KIA
yang militer rusak pada 2011, menurut statistik PBB terbaru.
Para pengungsi yang melarikan diri dari aksi kekerasan itu
berlindung di tenda-tenda dan bahkan gereja-gereja di Kachin, terutama yang
Kristen, ketika kelompok hak asasi manusia dan pemberontak menuduh militer
memblokir bantuan
Campur
aduk suku bangsa Myanmar membentuk sepertiga populasi, tetapi Bamar atau Burma,
telah mengisi struktur kekuasaan negara yang mayoritas beragama Buddha itu
sejak kemerdekaan pada tahun 1948.
Pemimpin sipil Aung San Suu Kyi mengatakan akan mengakhiri
sejarah panjang bentrokan Myanmar adalah prioritas utamanya setelah ia
mengambil alih kekuasaan pada 2016. Tetapi ia berbagi kekuasaan dengan militer
yang memerangi pemberontakan selama beberapa dekade.
Lebih dari sepertiga kota-kota Myanmar dipengaruhi oleh
konflik yang belum terselesaikan, menurut laporan tahun 2017 dari Asia
Foundation.
Suu Kyi berhasil membawa dua kelompok etnis ke dalam
kesepakatan gencatan senjata pada bulan Februari, menambah delapan orang
lainnya yang telah menandatangani kesepakatan sebelum dia menjabat.
Pendeta Hkalam Samsun, ketua Konvensi Baptis Kachin,
mengatakan orang-orang Kachin "kecewa" dengan Suu Kyi.

0 Komentar