Takabur
merupakan penyakit hati tingkat tinggi yang harus diwaspadai oleh semua muslim,
termasuk aktifis dakwah. Dikatakan penyakit hati tingkat tinggi karena sejarah
iblis laknatullah dimulai dari penyakit satu ini. Merasa lebih tinggi dari
Adam, ia lalu mendurhakai perintah Allah untuk bersujud padanya.
أَبَى وَاسْتَكْبَرَ
Demikian
kata Al-Qur’an. Demikian pula para penguasa taghut yang menjadi musuh para nabi dan rasul,
semuanya dihinggapi penyakit ini.
Dengan
mengetahui faktor-faktor penyebab suatu penyakit, diharapkan kita bisa
menghindarinya. Demikian pula dengan takabur ini. Ada beberapa faktor penyebab
yang semoga setelah kita mengetahuinya lalu berupaya keras untuk
menghindarinya, sebagaimana kita menghindari api yang telah kita ketahui
panasnya bisa membakar kita.
Iblis
sebagai makhluk pertama yang dihinggapi takabur hingga membuatnya terlempar
dari surga, melakukan kesalahan fatal dalam memandang hakikat dirinya. Ia lupa
betapapun ia ditempatkan di surga, sebenarnya ia adalah makhluk Allah.
Demikian
pula orang yang takabur, terutama ketika merendahkan orang lain. Ia salah dalam
memandang hakikat dirinya yang pada mulanya tercipta dari air yang hina.
ثُمَّ جَعَلَ نَسْلَهُ مِنْ سُلالَةٍ مِنْ مَاءٍ
مَهِينٍ
Kemudian Dia menjadikan keturunannya dari
saripati air yang hina. (QS. As-Sajdah: 8)
Ia
tidak ingat ayat ini. Ia tidak menyadari hakikat dirinya. Yang ia tahu ia kini
adalah manusia dengan organ yang sempurna, sosok yang hebat, dan wajah yang
rupawan. Berbagai potensi yang telah dianugerahkan Allah kepadanya, mulai dari
kecerdasan sampai kekayaan dan kekuasaan, dianggap sebagai milik dirinya
sendiri. Hingga segala kelebihan dari fisik hingga akal itu dipahami sebagai
hakikat dirinnya.
Ketika
iblis mengaku lebih mulia dari Adam, ia menggunakan parameter yang salah dalam
mengukur kemuliaan.
وَإِذْ قُلْنَا لِلْمَلائِكَةِ اسْجُدُوا لآدَمَ
فَسَجَدُوا إِلا إِبْلِيسَ قَالَ أَأَسْجُدُ لِمَنْ خَلَقْتَ طِينًا
Dan (ingatlah), tatkala Kami berfirman kepada
para malaikat: "Sujudlah kamu semua kepada Adam", lalu mereka sujud
kecuali iblis. Dia berkata: "Apakah aku akan sujud kepada orang yang
Engkau ciptakan dari tanah?" (QS Israa’ : 61)
قَالَ مَا مَنَعَكَ أَلا تَسْجُدَ إِذْ
أَمَرْتُكَ قَالَ أَنَا خَيْرٌ مِنْهُ خَلَقْتَنِي مِنْ نَارٍ وَخَلَقْتَهُ مِنْ
طِينٍ
Allah berfirman:
"Apakah yang menghalangimu untuk bersujud (kepada Adam) di waktu Aku
menyuruhmu?
Iblis menjawab: "Saya lebih baik
daripadanya: Engkau ciptakan saya dari api sedang dia Engkau ciptakan dari
tanah". (QS Al A’raaf :12)
Jika
iblis memahami hakikat kemuliaan ditentukan dari asal penciptaan, orang seperti
Fir’aun memahami hakikat kemuliaan ditentukan oleh kekuasaan. Lalu orang
seperti Qarun menganggap kemuliaan ditentukan oleh kekayaan. Dan orang seperti
Haman menganggap kemuliaan ditentukan oleh kekuatan dan kecerdasan.
Tiga
hal yang disebutkan terakhir ini barangkali saat ini amat dominan dipakai
sebagai logika kemuliaan. Maka jika kebenaran berasal dari mereka yang tidak
lebih berkuasa akan ditolak. Al-haq yang dibawa oleh mereka yang tidak lebih
kaya dari dirinya tidak akan diterima. Dan keadilan yang dilantangkan oleh
mereka yang tidak lebih kuat dari dirinya juga akan diabaikan.
Ada
hal lain yang juga menjadi standar salah dalam memandang hakikat kemuliaan.
Misalnya usia, pengetahuan, pengalaman, bahkan jasa. Termasuk dalam dakwah.
Maka kadang terjadi aktifis dakwah yang terjebak pada takabur dan tidak mau
menerima kebenaran karena merasa usia perjuangannya lebih lama, pengalaman
dakwahnya lebih banyak, atau jasanya lebih besar. Hingga ada pula yang karena
memandang dirinya adalah qiyadah, maka perbedaan yang dibawa oleh jundiyahnya
selalu dianggap salah. Kesalahan dalam memahami hakikat kemuliaan bisa
menjerumuskan kita ke dalam ke-takabur-an sebagaimana iblis diusir dari surga
dan dilaknat Allah selama-lamanya.
Ali
radhiyallaahu anhu terkenal dengan kata-katanya:
”Lihatlah apa yang. diucapkan dan jangan lihat
siapa yang mengucapkan.”
Seringkali
kita memahami maqalah ini sebagai upaya. untuk obyektif menilai kebenaran.
Namun di sana juga ada nilai bahwa kebenaran akan selamanya benar meskipun
datangnya dari siapapun.
Jika
kita memiliki standar penilaian yang benar, insya Allah kita akan lebih selamat
dari bahaya menolak kebenaran, sebuah sikap yang merupakan inti takabur. Dan
kebenaran itu adalah apa yang benar menurut Allah dan Rasul-Nya (Al-Qur'an dan
Sunnah), siapapun yang mengatakannya.
Orang
yang takabur biasanya lupa bahwa alasan yang melatarinya untuk berbuat demikian
tidaklah abadi pada dirinya. Kenikmatan yang ia rasakan, yang dengannya ia
menyombongkan diri hanyalah bersifat sementara. Allah bisa mencabutnya dalam
waktu yang cepat dan tak terkira.
Tidak
peduli apakah kenikmatan yang kemudian disombongkan itu berupa harta,
keturunan, popularitas, jabatan, kekuasaan, dan sebagainya. Perihalnya
menyerupai orang yang digambarkan Allah SWT dalam salah satu firman-Nya:
وَدَخَلَ جَنَّتَهُ وَهُوَ ظَالِمٌ لِنَفْسِهِ
قَالَ مَا أَظُنُّ أَنْ تَبِيدَ هَذِهِ أَبَدًا ﴿٣٥﴾ وَمَا أَظُنُّ السَّاعَةَ
قَائِمَةً وَلَئِنْ رُدِدْتُ إِلَى رَبِّي لأجِدَنَّ خَيْرًا مِنْهَا مُنْقَلَبًا
﴿٣٦﴾
Dan dia memasuki kebun sedangkan dia zalim
terhadap dirinya sendiri. Ia berkata, "Aku kira kebun itu tidak akan
binasa selama-lamanya, dan aku tidak mengira hari kiamat itu akan datang.
Sekiranya aku dikembalikan kepada Tuhanku pasti aku akan mendapatkan tempat
yang lebih baik daripada kebun-kebunku itu." (QS. Al-Kahfi: 35-36)
Ini
adalah faktor eksternal yang bisa menyebabkan seseorang mejadi takabur. Sebab
orang-orang di sekelilingnya terlalu tawadhu secara berlebihan kepada dirinya.
Sebab ini sering dijumpai pada pemimpin atau guru yang takabur disebabkan
lingkungan seperti ini. Pengikut yang tawadhu', selalu menghormatinya, dan
tidak pernah menasehatinya, mengarahkan seseorang berpikiran bahwa ia adalah
orang mulia dan jauh dari kesalahan. Guru yang selalu dihormati muridnya dan
mendapatkan kemuliaan dari mereka juga berpotensi menganggap dirinya sempurna.
Jadilah ia takabur. Tidak menutup kemungkinan hal ini juga menimpa ulama.
Karenanya mencium tangan seseorang baik itu pemimpin maupun ulama dimakruhkan
oleh sebagian ulama.
Begitu
pula penghormatan dengan berdiri dan berbagai bentuknya. Selain itu merupakan
bentuk ketawadhu'an yang memperlemah posisi orang yang melakukan, juga bisa
menjadi faktor penyebab takabur bagi orang yang diberi penghormatan.
Rasulullah
SAW bersabda:
Barangsiapa yang suka agar orang-orang berdiri
untuk menghormatinya, maka bersiaplah untuk menempati tempat duduk dari api
neraka. (HR. Abu Daud)
Dalam
kesempatan yang lain beliau bersabda:
Janganlah kalian berdiri menyerupai
orang-orang yang saling mengagungkan satu sama lain (HR. Abu Daud)
Selain
ketawadhuan, pujian orang lain didepan seseorang juga berpotensi membawa
takabur pada orang yang dipuji. Karenanya Rasulullah mengingatkan, bahkan
dengan tegas kepada orang yang suka memuji orang lain di depannya, apalagi
secara tidak proporsional.
Rasulullah memerintahkan kami untuk menaburkan
tanah ke muka orang yang suka memuji (HR. Muslim)
Orang
yang takabur biasanya karena ia lalai terhadap dampak takabur. Kelalaian di
sini bukanlah kelalaian secara pengetahuan atau kognitif. Sebab betapa banyak
orang yang secara teori hafal dampak buruk takabur tetapi ia tetap
melakukannya.
Kelalaian
di sini lebih dalam maknanya daripada itu. Yakni memahami dan menyadari bahwa
jika ia melakukan takabur dampak buruk dunia akhirat bisa menghancurkannya. Di
saat seseorang sadar akan bahaya yang menimpanya, maka ia akan menghindari
perbuatan itu. Sementara pengetahuan atau hafalan yang tidak mencegah seseorang
dari takabur, belumlah mengeluarkan ia dari kelalaian yang sebenarnya.
Demikian
7 faktor penyebab takabur, semoga dengan mengetahuianya Allah menjadikan kita
paham akan sebab-sebab yang bisa menjerumuskan kita pada takabur. Dengan
pemahaman itu kita berdoa kepada Allah agar dihindarkan dari ketujuh hal itu
dan diselamatkan dari takabur.
Artikel by:https://jauhinfo.blogspot.co.id

0 Komentar